BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Filsafat berasal dari bahasaYunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah.atau berarti. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang
artinya induk dari segala ilmupengetahuan. Filsafat dan Ilmu adalah
duakata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis.
Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau
Sains merupakan komponenter besar yang diajarkan dalam semua strata
pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan
ilmiah tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap
sebagai hafalansaja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan,
menjelaskan,memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan
kenyamananhidup. Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu
untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu
dan teknologi menjadi dibencana bagi kehidupan manusia, seperti
pemanasan global dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan
rohnya yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan
menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah
menjadi budakilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba
mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi
boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa
ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan
tujuan.
Ilmu
filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah
mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran
berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat
atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi
suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Manusia
mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan
salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hanya bisa dilakukan oleh
orang lain yang melihat kita.
Orang
lain yang mampu memberikan penilaian secara objektif dan tuntas, dan
pihak lain yang melakukan penilaian sekaligus memberikan arti adalah
pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari kita
Direktur Avicena Center
for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar filsafat
memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer,
mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang
lebih mampu menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya.
Kesadaran bahwa kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah
membonceng imperialisme politik dan ekonomi Barat didukung oleh
keunggulan sains dan teknologi mereka, telah membelenggu cara berpikir
manusia modern umumnya. Telah 300 tahun ditanamkan bahwa filsafat itu
adalah semata pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), bahwa
filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis bahasa, bahwa berfilsafat
itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang menolak kebenaran
universal, bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan
kemanusiaan. Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam
maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah
mati, dan ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).
Kebudayaan adalah aktivitas khas manusia yang berkembang seiring
kemajuan daya pikir suatu masyarakat. Meski tidak tepat untuk
menggolongkan budaya manusia dengan klasifikasi budaya primitif dan
budaya maju, namun proses perkembangan kebudayaan terus berjalan seiring
dinamisasi kehidupan manusia. Filsafat kebudayaan menjadi penting,
karena memberikan penunjuk arah kemana manusia seharus berkembang dengan
menyelidiki sedalam-dalamnya siapa manusia itu, kemana jalannya dan
kemana tujuan akhir hidupnya. Interaksi antar bangsa-bangsa di dunia
berkorelasi dengan proses saling mempengaruhi di bidang kebudayaan. Pada
makalah kali ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang hubungan
antara ilmu, teknologi, etika, kebudayaan, dan krisis kemanusiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEMAJUAN ILMU DAN KRISIS KEMANUSIAAN
Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula bertujuan untuk mempermudah
pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan
keresahandan ketakutan baru bagi kehidupan manusia ibarat cerita raja
midas yang menginginkan setiap yang disentuhnya menjadi emas ternyata
ketika keinginan dikabulkan dia tidak smakin senang tetapi semakin gila.
Ternyata teknologi layar mampu membius manusia untuk tunduk kepada
layar dan mengabaikan yang lain. Jika manusia tidak sadar akan hal ini
maka dia akan kesepian dan kehilangan sesuatu yang amat penting dalam
dirinya yakni kebersamaan hubungan kekeluargaan dan sosial yang hangat.
Karena itu, wajar kemudian timbul kontroversi di berbagai negara apakah
pengembanan rekayasa genetik untuk manusia dibolehkan atau tidak. Bagi
negara-negara liberal rekayasa genetik untuk manusia diperbolehkan
bahkan didukung oleh pemerintah sedangkan para negara-negara yang
konserpatif pengembangan fekayasa yang menjurus kepada perubahan manusia
secara total amat ditentang. Pemusnahan embriao manusia tidak jadi
diklon dianggap sebuah bentuk kekejian yang tidak normal.
Bila memacu pada pengertian diatas, pengetahuan merupakan mengetahui
sesuatu tanpa ada ragu. Misalkan bila cuaca gelap pasti akan turun
hujan. Pernyataan tersebut kita yakini tanpa ragu walaupun orang yang
kita anggap pintar akan mengatakan bila cuaca gelap pasti akan panas.
Kita akan tetap pada pendirian kita karena kita mengetahui hal tersebut
tanpa ragu. Hal ini yang disebut pengetahuan yang sebatas hanya
mengetahui tanpa ragu ( sekedar tahu ), akan tetapi berlanjut kepada
timbul pernyataan mengapa hal itu bias terjadi atau penyebab dari hal
itu. Jawaban dari pertanyan atas peristiwa yang telah dicontohkan
diatas, itu baru merupakan sebuah ilmu. Jadi ilmu itu tidak hanya
sebatas tahu, tapi bagaimana kita memahami dari pengetahuan tersebut.
1. AGAMA, ILMU,DAN MASA DEPAN MANUSIA
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu
memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitasdan menjaga
tradisi yang sudah mapan (ritual) cenderung ekslusif, dan subjektif.
Sementara ilmu selalu mencari yang baru. Tidak perlu terikat dengan
etika progresif. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada
janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan
sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia
Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu hampir semua kitab suci
menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Adapun menurut
ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau
tersumbatnya lava gunung berapi oleh karena itu para ilmuan harus
mencari ilmu dan teknologi untuk mendektesi kapan gempa akan terjadi dan
bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Definisi Ilmu, dan Krisis Kemanusiaan
1) Ilmu
Pengertian kata “ilmu”
secara bahasa adalah pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu (Bakhtiar, 2007).
Ciri-ciri utama ilmu secara terminologi adalah:
1. Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.
2. Koherensi sistematik ilmu.
3. Tidak memerlukan kepastian lengkap.
4. Bersifat objektif.
5. Adanya metodologi.
6. Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.
2) Krisis kemanusiaan
Krisis
adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari keadaan lama
menuju keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah
ditinggalkan, tetapi metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan,
sehingga yang terjadi adalah kebingungan, karena belum adanya metodologi
baru yang memadai.
Krisis
kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman
kritis terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi
suatu komunitas atau suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.
- Hubungan antara Ilmu dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu
kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini,
ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang
dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang
memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga
kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih
banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang
menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup
semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran
mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta
tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga
mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat
modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan
moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia
ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada
taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong
menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan,
penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka
kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu
agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan
dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya
berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada
waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat
dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia
tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada
pencipta-Nya.
Ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam
dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis
yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi
filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini
lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang
filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai
ciri-ciri yang sama.
Pertama,
filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek
apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang
menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk
mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng
Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada
yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif
mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang ada. Tiang penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu
atau teori pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan
dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.
Dengan
demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai
peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan
dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin
pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih
berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.
Kecenderungan
yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang
dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro.
Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin
meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan
membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi
lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah
merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang
lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari
kecenderungan yang pertama.
Kedua
kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling
mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba
persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan
bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang
kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup
manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang
kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau
mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan
politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru
menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan
keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan
manusia.
Kedua
kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini
perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman
lagi. Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan
ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik, industri, dan
persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan
bumi kita.
Untuk
itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana
proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi
ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Tiang
penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah
sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan
lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah
wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan
berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga,
manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi,
pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu
merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat
bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi.
Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia,
namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang
menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus
diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan
kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka
yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah
teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu
tidak terlepas dari siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada
kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk
itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah
keterangan mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani)
yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam
bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari
definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas
bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud
adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu
pada permasalahan etika dan estetika.
Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek
formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan
pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu
kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai
itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif,
apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia
menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan
faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan
demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan
hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.
Nilai
itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat
tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara
realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu
pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan
inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika
seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya
dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai
subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai
adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan
kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk
itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya
tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai
mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang
ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan
akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan
dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang
ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan
menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia
dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku
ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari
pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya
dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada
“elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung
jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati
nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan
dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai
dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma
moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu?
Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau
menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti
nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam
nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma
moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut
etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan
menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan
ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu
berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan
sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas
nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan
masyarakat akan mengujinya.
Oleh
karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di
masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua
teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di
bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi
informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif,
terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua
sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran
secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan,
maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya
merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus
dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus
bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Tentang
tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof
dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan
tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu
pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya.
Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti
atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan
kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini.
Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan
beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu
pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi
jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah,
dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan
dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan.
Dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang
kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia
bisa hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi
membebaskan manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam
sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya,
manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan mahluk baru yang
sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh
manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin
kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu
dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara
etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik
berorentasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama
denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk
kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik.
Etika
pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul
dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika
prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat
ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan
malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan
perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai
agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam
menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan
agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak
semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan
menghancurkan kehidupan mereka.
- Hubungan antara Teknologi dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi
dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa
depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar,
asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi,
selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang
sering lebih penting artinya daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher
menyatakan bahwa dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi
tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap
pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak
berperikemanusiaan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan
tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak
dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga
akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu
dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi
kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi
hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c. Otomatisme,
artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba
otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan
non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi
yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa
sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi,
bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik,
digambarkan oleh Ellul (1964) sebagai berikut :
· Teknik meliputi bidang ekonomi.
· Teknik meliputi bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen, hokum, dan militer.
· Teknik
meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga,
hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai selutuh sector
kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan sunia teknik
dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh
teknik.
Pada
masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses
dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada
teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat
teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia
pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran
kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Situasi
tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan
mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik,
sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan
manusia dengan mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi
manusia sendiri tidak hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri
ban, seorang buruh meskipun sakit atau lelah, ataupun ada berita duka
bahwa anaknya sedang sekarat di RS, mungkin pekerjaan itu tidak dapat
ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi
temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai-nilai
sosial dan tidak manusiawi lagi.
2. Perubahan
ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia
dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau
tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam.
Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan
dengan bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi tidak
sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3. Perubahan
waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat
kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan
dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan
konkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam,
menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai
kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk
kepada waktu.
4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa,
artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang struktur
masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan persaingan
kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu
komunitas. Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf
menurut beberapa ahli merupakan akibat hilangnya nilai-nilai hubungan
sosial. Kondisi sekarang ini manusia sering dipandang menjadi objek
teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik yang ada.
Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya
ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi
bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern
tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan
aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para
sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa
terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang
berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di
dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma,
yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan
kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa
acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan,
krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat,
yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural
lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh
pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat
kehilangan keseimbangan.
Illustrasi
krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi dalam
kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam
kehidupan manusia. Ada
alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai
mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada
pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan
antarmanusia dan antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada
pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan
kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai
satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.
- Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan
Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos”
yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang
pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani
yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika
adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai
masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang
masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan
”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan
dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang
yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak
bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya
dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika
dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus
dibagi menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika
individual dan etika sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku
manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas kewajiban
manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia
sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban
manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini,
etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena
kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat
manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial
menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara),
sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi
maupun tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial
berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai
manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Di
dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika
sosial sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan
perspektif etika di kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang
telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic)
sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral untuk
diejawantahkan dalam kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global
tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas sebuah
kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya
memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik
pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut
juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi sendiri
telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif,
yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu
krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis
ekologi global, dan krisis politik global. Berbagai
terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti
kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan, penindasan,
pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika
ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada
berpangkal mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan
etika, terutama di kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong
merajalelanya perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan
segala tatanannya. Dari perspektif etika global, permasalahan yang
dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia belakangan ini, tidak
lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi terhadap etika
peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama pada
aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan
atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan
manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan
kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma
"antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri,
sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan".
Egosime
kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik
yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme,
nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme).
Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi
manusia sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the World's Religions
yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut, "Dalam
tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian
tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara
jujur dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak
dengan cara apa pun merampas atau merebut hak orang lain atau hak
kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun berhak menggunakan
apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat dan bumi.
Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan
dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu
permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti,
dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya
manusia beragama.
Pemecahan
problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin
dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat
perencanaan ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan
undang-undang. Namun, semua itu belum cukup tanpa perubahan "orientasi
batin" (inner orientation) dan sikap mental yang berkualitas dari masyarakat.
Masyarakat membutuhkan reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu
bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual. Untuk
benar-benar berperilaku manusiawi berarti :
· Kita
harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani
kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi
yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang
menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat
miskin, penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.
· Kita
harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan
kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan
persaingan yang tidak terhindarkan.
· Kita
harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa
terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam
keserakahan, manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan
kedamaian diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya
manusiawi".
- Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan
perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam kaitannya
dengan kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini
dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri dengan mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .
Konklusi
harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia
ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat
termanifestasikan secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini
adalah adanya paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan
yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
Apabila
kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan
berproses dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai
“gegar budaya”. Banyak indikator yang tersaji di keseharian masyarakat
kita yang secara empiris terlihat munculnya keprihatinan dimana-mana
pada hampir semua aspek kehidupan manusia, yang kemudian dapat dirangkum
dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini mengindikasikan
bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan bangsa
kita selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa
yang tidak kunjung selesai.
“Kekosongan”
kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif
terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan.
Peralihan kebudayaan Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks
bebas, pergaulan bebas, film porno, minum alkohol, diperbolehkannya
hubungan sesama jenis, dll membuat kita bertanya, kemanakah nilai
kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas dari bangsa
Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan
cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru.
Selain itu, efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis
kemanusiaan. Krisis kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya
pembunuhan, hamil di luar nikah, timbulnya penyakit menular seksual, dan
meningkatkan angka kriminalitas.
- Hubungan antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu
pengetahuan dapat memberi dampak positif dan negatif. Ketika ilmu
pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia hanya
memfungsikan sisi hawa nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu
pengetahuan diarahkan untuk hal-hal destruktif. Di sinilah pentingnya
nilai dan norma (etika) untuk mengendalikan hawa nafsu manusia. Etika
menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi dukungan yang baik bagi
pemanfaatan iptek untuk meningkatkan derajat hidup, kesejahteraan, dan
kebahagiaan manusia.
Pada
zaman sekarang, aliran humanisme-antroposentris berkembang pesat.
Aliran ini memiliki pikiran kebudayaan materi yang menafikan kehadiran
agama, individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan (Irfan,
2009). Perubahan kebudayaan berakibat pada perubahan etika, sebab etika
merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran
yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak
absolut dan mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya
yang berlaku di mana kita tinggal dan kehidupan sosial apa yang kita
jalani.
Apabila
etika (yang juga dapat diartikan sebagai cara berpikir) mengalami
perubahan, maka perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan juga
mungkin terjadi, dan selanjutnya akan menimbulkan kecenderungan adanya
hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan
(teknologi) yang dapat semakin memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan yang semakin maju tersebut selain akan mendorong
ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan berikutnya, juga akan
meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat memaksa, merajalela,
bahkan membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada tidak
manusiawinya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika
ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika.
Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya
perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala
tatanannya. Berawal
dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan
dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan
secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi,
politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai
konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut
para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga tingkat,
yaitu:
1. Pada
tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan
respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
2. Pada
tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya
kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku à disebut kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
3. Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat à disebut gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag) à
nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui
hal-hal yang bersifat spiritual sehingga masyarakat kehilangan
keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak
pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’
dari modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan
dan teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu
menumbuhkan akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan.
Pengamatan
para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan
bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan
nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya
dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun
peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang
pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur
nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu
untuk menguasai.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu
pengetahuan mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat
berakibat positif maupun negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan teknologi
berdampak positif bagi manusia perlu dikendalikan oleh etika. Etika
merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat
terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan kebudayaan
dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi
krisis kemusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Kanisius
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein; Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/b/budaya/ 14 nov/ 21.36
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/66/ 16 nov/ 15.41
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Teori%96teori+Kebenaran+Dalam+Ilmu+Pengetahuan&dn=20080702084806
Ellul J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf
Sastrapratedja. 1980.
Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Anonim. Cultural Relativism. http://www.collegetermpapers.com/TermPapers/Philosophy/Cultural_Relativism.shtml
Anonim, Ethical (Moral, Cultural) Relativism. http://www.owlnet.rice.edu/~spac205/February_11-2.pdf
Presiden Foundation for a Global Ethic (Stiftung Weltethos), Guru Besar Emeritus Teologi Ekumenis pada University of Tübingen . http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/internasional/2204-etika-global-dan-obama.html. Harian Tempo 2/3/2009
Muchdhor M. Krisis Kemanusiaan dan Etika Global. Sinar Harapan 26/10/2002
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu. 2nd ed. Yogyakarta. Liberty
Daruni, EA. 1991. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan dalam Majalah Jurnal Filsafat. Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Seri 8
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru
Ma’arif S. 1997. Dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh Nashir H. 1997. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Nashir H. 1997. Agama dan krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Irfan LA. 2009. Kajian Terhadap Islamizing Curicula Al- Faruqi. http://iptekita.com. Diunduh 22/11/09.
No comments:
Post a Comment