Mar 14, 2013

Makalah Kemajuan Ilmu dan Krisis Kemanusiaan

BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
           Filsafat berasal dari bahasaYunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah.atau berarti. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmupengetahuan. Filsafat dan Ilmu adalah duakata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau Sains merupakan komponenter besar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai hafalansaja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan,memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamananhidup. Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi dibencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi budakilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hanya bisa dilakukan oleh orang lain yang melihat kita.
Orang lain yang mampu memberikan penilaian secara objektif dan tuntas, dan pihak lain yang melakukan penilaian sekaligus memberikan arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kita
Direktur Avicena Center for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar filsafat memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer, mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih mampu menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran bahwa kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme politik dan ekonomi Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka, telah membelenggu cara berpikir manusia modern umumnya.  Telah 300 tahun ditanamkan bahwa filsafat itu adalah semata pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), bahwa filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis bahasa, bahwa berfilsafat itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang menolak kebenaran universal, bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan kemanusiaan.   Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah mati, dan ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).
Kebudayaan adalah aktivitas khas manusia yang berkembang seiring kemajuan daya pikir suatu masyarakat. Meski tidak tepat untuk menggolongkan budaya manusia dengan klasifikasi budaya primitif dan budaya maju, namun proses perkembangan kebudayaan terus berjalan seiring dinamisasi kehidupan manusia. Filsafat kebudayaan menjadi penting, karena memberikan penunjuk arah kemana manusia seharus berkembang dengan menyelidiki sedalam-dalamnya siapa manusia itu, kemana jalannya dan kemana tujuan akhir hidupnya. Interaksi antar bangsa-bangsa di dunia berkorelasi dengan proses saling mempengaruhi di bidang kebudayaan. Pada makalah kali ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang hubungan antara ilmu, teknologi, etika, kebudayaan, dan krisis kemanusiaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KEMAJUAN ILMU DAN KRISIS KEMANUSIAAN
        Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahandan ketakutan baru bagi kehidupan manusia ibarat cerita raja midas yang menginginkan setiap yang disentuhnya menjadi emas ternyata ketika keinginan dikabulkan dia tidak smakin senang tetapi semakin gila.
        Ternyata teknologi layar mampu membius manusia untuk tunduk kepada layar dan mengabaikan yang lain. Jika manusia tidak sadar akan hal ini maka dia akan kesepian dan kehilangan sesuatu yang amat penting dalam dirinya yakni kebersamaan hubungan kekeluargaan dan sosial yang hangat.
          Karena itu, wajar kemudian timbul kontroversi di berbagai negara apakah pengembanan rekayasa genetik untuk manusia dibolehkan atau tidak. Bagi negara-negara liberal rekayasa genetik untuk manusia diperbolehkan bahkan didukung oleh pemerintah sedangkan para negara-negara yang konserpatif pengembangan fekayasa yang menjurus kepada perubahan manusia secara total amat ditentang. Pemusnahan embriao manusia tidak jadi diklon dianggap sebuah bentuk kekejian yang tidak normal.
        Bila memacu pada pengertian diatas, pengetahuan merupakan mengetahui sesuatu tanpa ada ragu. Misalkan bila cuaca gelap pasti akan turun hujan. Pernyataan tersebut kita yakini tanpa ragu walaupun orang yang kita anggap pintar akan mengatakan bila cuaca gelap pasti akan panas. Kita akan tetap pada pendirian kita karena kita mengetahui hal tersebut tanpa ragu. Hal ini yang disebut pengetahuan yang sebatas hanya mengetahui tanpa ragu ( sekedar tahu ), akan tetapi berlanjut kepada timbul pernyataan mengapa hal itu bias terjadi atau penyebab dari hal itu. Jawaban dari pertanyan atas peristiwa yang telah dicontohkan diatas, itu baru merupakan sebuah ilmu. Jadi ilmu itu tidak hanya sebatas tahu, tapi bagaimana kita memahami dari pengetahuan tersebut.

     1. AGAMA, ILMU,DAN MASA DEPAN MANUSIA

        Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitasdan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual) cenderung ekslusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru. Tidak perlu terikat dengan etika progresif. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia
      Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Adapun menurut ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau tersumbatnya lava gunung berapi oleh karena itu para ilmuan harus mencari ilmu dan teknologi untuk mendektesi kapan gempa akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
                     Definisi Ilmu, dan Krisis Kemanusiaan
1)      Ilmu
Pengertian kata “ilmu” secara bahasa adalah pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu (Bakhtiar, 2007).
Ciri-ciri utama ilmu secara terminologi adalah:
1.      Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.
2.      Koherensi sistematik ilmu.
3.      Tidak memerlukan kepastian lengkap.
4.      Bersifat objektif.
5.      Adanya metodologi.
6.      Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.
2)       Krisis kemanusiaan
Krisis adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari keadaan lama menuju keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah ditinggalkan, tetapi metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan, sehingga yang terjadi adalah kebingungan, karena belum adanya metodologi baru yang memadai. 
Krisis kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman kritis terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi suatu komunitas atau suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.
  1. Hubungan antara Ilmu dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga yang  kedua adalah Epistimologi ilmu  atau teori pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.
Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.
Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi kita.
Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Tiang penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
        Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan.
Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
       Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik.
 Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula  yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
  1. Hubungan antara Teknologi dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher menyatakan bahwa dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b.      Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c.       Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d.      Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e.       Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
f.       Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g.      Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul (1964) sebagai berikut :
·         Teknik meliputi bidang ekonomi.
·         Teknik meliputi bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen, hokum, dan militer.
·         Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan sunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang buruh meskipun sakit atau lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat di RS, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2.      Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam. Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan dengan bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3.      Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu.
4.      Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang struktur masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan persaingan kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli merupakan akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial. Kondisi sekarang ini manusia sering dipandang menjadi objek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik yang ada.
         Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu         pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.
  1. Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan  yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma "antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan".
 Egosime kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut, "Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat dan  bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia beragama.
Pemecahan problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu belum cukup tanpa perubahan "orientasi batin" (inner orientation) dan sikap mental yang berkualitas dari masyarakat.
      Masyarakat membutuhkan reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual. Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti :
·         Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.
·         Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan persaingan yang tidak terhindarkan.
·         Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan, manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".
  1. Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam kaitannya dengan kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri dengan mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
 Apabila kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara empiris terlihat munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan manusia, yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai. 
“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan.  Peralihan kebudayaan Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks bebas, pergaulan bebas, film porno, minum alkohol, diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat kita bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru. Selain itu, efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di luar nikah, timbulnya penyakit menular seksual, dan meningkatkan angka kriminalitas.

  1. Hubungan antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu pengetahuan dapat memberi dampak positif dan negatif. Ketika ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia hanya memfungsikan sisi hawa nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu pengetahuan diarahkan untuk hal-hal destruktif. Di sinilah pentingnya nilai dan norma (etika) untuk mengendalikan hawa nafsu manusia. Etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi dukungan yang baik bagi pemanfaatan iptek untuk meningkatkan derajat hidup, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.
Pada zaman sekarang, aliran humanisme-antroposentris berkembang pesat. Aliran ini memiliki pikiran kebudayaan materi yang menafikan kehadiran agama, individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan (Irfan, 2009). Perubahan kebudayaan berakibat pada perubahan etika, sebab etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku di mana kita tinggal dan kehidupan sosial apa yang kita jalani.
Apabila etika (yang juga dapat diartikan sebagai cara berpikir) mengalami perubahan, maka perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan juga mungkin terjadi, dan selanjutnya akan menimbulkan kecenderungan adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan (teknologi) yang dapat semakin memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang semakin maju tersebut selain akan mendorong ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan berikutnya, juga akan meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat memaksa, merajalela, bahkan membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada tidak manusiawinya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga tingkat, yaitu:
1.            Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
2.            Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku à disebut kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
3.            Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat à disebut gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag) à nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’ dari modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu menumbuhkan akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat berakibat positif maupun negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif bagi manusia perlu dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi krisis kemusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Kanisius
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein; Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21.  Yogyakarta. Kanisius
http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/b/budaya/ 14 nov/ 21.36
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Teori%96teori+Kebenaran+Dalam+Ilmu+Pengetahuan&dn=20080702084806
Anonim. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan. http://elearning.gunadarma.ac.id. 20/11/2009.
Ellul J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf
Sastrapratedja. 1980.
Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Anonim, Ethical (Moral, Cultural) Relativism. http://www.owlnet.rice.edu/~spac205/February_11-2.pdf
Presiden Foundation for a Global Ethic (Stiftung Weltethos), Guru Besar Emeritus Teologi Ekumenis pada University of Tübingen . http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/internasional/2204-etika-global-dan-obama.html. Harian Tempo 2/3/2009
Muchdhor M. Krisis Kemanusiaan dan Etika Global. Sinar Harapan 26/10/2002
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu. 2nd ed. Yogyakarta. Liberty
Daruni, EA. 1991. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan dalam Majalah Jurnal Filsafat. Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Seri 8
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru
Ma’arif S. 1997. Dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh Nashir H. 1997.  Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Nashir H. 1997. Agama dan krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Irfan LA. 2009. Kajian Terhadap Islamizing Curicula Al- Faruqi. http://iptekita.com. Diunduh 22/11/09.

No comments:

Post a Comment

Pages

Followers