DEFINISI DAN PROSPEK HORTIKULTURA |
A. DEFINISI DAN PENGERTIAN HORTIKULTURA
Hortikultura berasal dari kata “hortus” (= garden atau kebun) dan “colere” (= to cultivate atau budidaya). Secara harfiah istilah Hortikultura diartikan sebagai usaha membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias (Janick, 1972 ; Edmond et al., 1975). Sehingga Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari budidaya buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Sedangkan dalam GBHN 1993-1998 selain buah-buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan.
Ditinjau dari fungsinya tanaman hortikultura dapat memenuhi kebutuhan jasmani sebagai sumber vitamin, mineral dan protein (dari buah dan sayur), serta memenuhi kebutuhan rohani karena dapat memberikan rasa tenteram, ketenangan hidup dan estetika (dari tanaman hias/bunga).
Peranan hortikultura adalah : a). Memperbaiki gizi masyarakat, b) memperbesar devisa negara, c) memperluas kesempatan kerja, d) meningkatkan pendapatan petani, dan e)pemenuhan kebutuhan keindahan dan kelestarian lingkungan. Namun dalam kita membahas masalah hortikultura perlu diperhatikan pula mengenai sifat khas dari hasil hortikultura, yaitu : a). Tidak dpat disimpan lama, b) perlu tempat lapang (voluminous), c) mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan, d) melimpah/meruah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain, dan e) fluktuasi harganya tajam (Notodimedjo, 1997). Dengan mengetahui manfaat serta sifat-sifatnya yang khas, dalam pengembangan hortikultura agar dapat berhasil dengan baik maka diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam terhadap permasalahan hortikultura tersebut.
Hortikultura adalah komoditas yang akan memiliki masa depan sangat cerah menilik dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya dalam pemulihan perekonomian Indonesia waktu mendatang. Oleh karenanya kita harus berani untuk memulai mengembangkannya pada saat ini. Seperti halnya negara-negara lain yang mengandalkan devisanya dari hasil hortikultura, antara lain Thailand dengan berbagai komoditas hortikultura yang serba Bangkok, Belanda dengan bunga tulipnya, Nikaragua dengan pisangnya, bahkan Israel dari gurun pasirnya kini telah mengekspor apel, jeruk, anggur dan sebagainya.
Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara alami dan tradisional, sedangkan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas. Apabila dilihat dari data selama Pelita V pengembangan hortikultura yang lebih ditekankan pada peningkatan keragaman komoditas telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, yaitu pada periode 1988 – 1992 telah terjadi peningkatan produktivitas sayuran dari 3,3 ton/ha menjadi 7,7 ton/ha, dan buah-buahan dari 7,5 ton/ha menjadi 9,9 ton/ha (Amrin Kahar, 1994).
Terjadinya peningkatan tersebut dapat dikatakan bahwa petani hortikultura merupakan petani yang responsif terhadap inovasi teknologi berupa : penerapan teknologi budidaya, penggunaan sarana produksi dan pemakaian benih/bibit yang bermutu. Tampak disini bahwa komoditas hortikultura memiliki potensi untuk menjadi salah satu pertumbuhan baru di sektor pertanian. Oleh karena itu dimasa mendatang perlu ditingkatkan lagi penanganannya terutama dalam menyongsong pasar bebas abad 21.
B. TANTANGAN DAN PELUANG
Indonesia adalah negara tropis dengan wilayah cukup luas, dengan variasi agroklimat yang tinggi, merupakan daerah yang potensial bagi pengembangan Hortikultura baik untuk tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi. Variasi agroklimat ini juga menguntungkan bagi Indonesia, karena musim buah, sayur dan bunga dapat berlangsung sepanjang tahun.
Peluang pasar dalam negeri bagi komoditas hortikultura diharapkan akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta timbulnya kesadaran akan gizi di kalangan masyarakat. Peningkatan kebutuhan komoditas hortikultura ini juga ditunjang oleh perkembangan sektor industri pariwisata dan peningkatan ekspor. Apabila dilihat terhadap kebutuhan konsumsi buah dan sayuran, nampak bahwa kebutuhan masing-masing adalah 32,6 kg/kapita/tahun dan 32 kg/kapita/tahun, ternyata baru tercapai sekitar 21,1 kg/kapita/tahun dan 14 kg/kapita/tahun (Sunaryono, 1987, dalam Notodimedjo, 1997). Dari kenyataan tersebut tercermin adanya peluang dan tantangan yang harus kita hadapi.
Di era globalisasi ini, kita dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat, oleh karena itu kita harus mampu memanfaatkan keunggulan yang kita miliki, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif yang perlu ditingkatkan secara kualitatif. Globalisasi ini jelas akan menimbulkan peluang sekaligus ancaman bagi pembangunan pertanian dan perdagangan nasional di masa mendatang. Sukses tidaknya Indonesia dalam memanfaatkan peluang dan menghadapi ancaman akan ditentukan oleh kemampuan untuk mendayagunakan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada secara efisien, produktif dan efektif dalam rangka mewujudkan daya saing yang semakin meningkat dalam skala global atas barang dan jasa yang dihasilkan.
Menghadapi persaingan yang semakin tajam mutlak diperlukan daya saing yang tinggi. Oleh karena itu seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan terlebih dunia usaha diharuskan mempersiapkan diri dengan langkah-langkah yang konkrit, sehingga mampu membangun suatu sistem ekonomi yang memiliki daya hidup dan berkembang secara mandiri serta mengakar pada struktur ekonomi dan struktur masyarakat Indonesia.
Kita perlu menyadari bahwa kita dikelilingi oleh negara-negara yang memiliki daya saing yang kuat, apabila kita tidak meningkatkan daya saing maka tidak akan mampu bersaing, bukan hanya di pasar luar negeri, tetapi juga di pasar dalam negeri sendiri, yang telah nampak pada kasus sekarang ini, seperti : beras, gula, buah-buahan dan lainnya.
Rendahnya daya saing sektor pertanian kita disebabkan oleh : sempitnya penguasaan lahan, tidak efisiennya usahatani, dan iklim usaha yang kurang kondusif serta ketergantungan pada alam masih tinggi. Untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian ini tidak ada jalan lain, selain kerja keras masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pertanian, membuka areal pertanian baru yang dibagikan kepada petani-petani gurem/buruh tani, memperluas pengusahaan lahan oleh setiap keluarga tani dan menggunakan teknologi maju untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian (Siswono Yudohusodo, 1999).
Dengan adanya arus globalisasi, tidak mungkin dihindari semakin lama produk hortikultura yang masuk ke Indonesia dari negara-negara lain akan semakin beragam jenisnya dan volumenya semakin banyak. Menghadapi realitas ini mau tidak mau produk hortikultura harus bersaing dengan produk dari negara lain. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut dengan tanpa mengesampingkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai tentunya perlu dikaji berbagai permasalahan yang ada sehingga upaya pencapaian tujuan di atas dapat terlaksana dengan baik.
Permasalahan yang menonjol dalam upaya pengembangan hortikultura ialah produktivitas yang masih tergolong rendah, hal ini merupakan refleksi dari rangkaian berbagai faktor yang ada, antara lain : pola usahatani yang kecil, mutu bibit yang rendah yang ditunjang oleh keragaman jenis/varietas, serta rendahnya penerapan teknologi budidaya (Dudung Abdul Adjid, 1993).
Selanjutnya Dudung Abdul Adjid (1993) menyatakan bahwa pada Pelita VI yang merupakan awal PJPT II ditandai dengan terjadinya arus globalisasi yang mengakibatkan pembangunan nasional semakin terkait dengan perkembangan dunia internasional antara lain dengan adanya putaran Uruguay (GATT) sehingga pasar Indonesia khususnya di bidang pertanian makin terbuka akan produk pertanian dari luar negeri. Kondisi ini selain mengandung berbagai kendala juga membuka peluang pasar internasional yang besar bagi produk pertanian yang sifatnya kompetitif.
Kondisi tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi pengembangan hortikultura pada khususnya, karena dalam pengusahaannya dituntut untuk efisien, mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu pengolahan hasil serta menunjang pembangunan wilayah. Oleh karena itu dalam pengembangan hortikultura tidak lagi hanya memperhatikan aspek produksi, tetapi lebih menitik beratkan pada pengembangan komoditi yang berorientasi pasar (agribisnis).
C. PENGELOLAAN HORTIKULTURA YANG BERKELANJUTAN
Komoditas hortikultura selain menjadi salah satu komoditas andalan ekspor non migas, tanaman dan produk yang dihasilkannya banyak memberikan keuntungan bagi manusia dan lingkungan hidup. Buah-buahan dan sayuran yang dikonsumsi bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia; pohon buah-buahan, sayuran dan tanaman hias dapat berfungsi sebagai penyejuk, penyerap air hujan, peneduh dan penyerap CO2 atau pencemar udara lainnya; limbah tanamannya serta limbah buah atau sayuran dapat dipergunakan sebagai pupuk organik atau kompos yang dapat menyuburkan tanah, sedang keindahannya dapat dinikmati dan berpengaruh baik bagi kesehatan jiwa. Tetapi keuntungan-keuntungan tersebut menjadi berkurang manakala teknik budidaya yang dilaksanakan malah menimbulkan pencemaran, baik terhadap lingkungan hidup maupun terhadap kesehatan manusia.
Dalam GBHN 1993 pembangunan pertanian hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan tanaman hias ditumbuh kembangkan menjadi agribisnis dalam rangka memanfaatkan peluang dan keunggulan komparatif berupa : iklim yang bervariasi, tanah yang subur, tenaga kerja yang banyak serta lahan yang tersedia. Produksi hortikultura diarahkan agar mampu mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri termasuk agroindustri serta memenuhi kebutuhan pasar luar negeri.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu penerapan sistem budidaya hortikultura yang lebih baik serta penggunaan teknologi yang tepat dan berwawasan lingkungan, yang sering dikenal dengan sistem GAP (Good Agricultural Practice). Sebagaimana kita ketahui sektor hortikultura baru mendapat perhatian setelah usaha swasembada beras tercapai, sehingga hasil-hasil penelitian yang dapat diterapkan untuk pengembangan hortikultura di Indonesia masih terbatas.
Teknologi yang saat ini diterapkan merupakan teknologi yang berorientasi pada pencapaian target produksi dengan menggunakan masukan produksi yang semakin meningkat, seperti bibit unggul, pupuk buatan, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Disamping hasil positif dengan peningkatan produksi, penggunaan masukan modern juga mendatangkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, antara lain adalah sebagai berikut :
· Penggunaan pupuk buatan mendatangkan pencemaran pada air permukaan dan air tanah dengan adanya residu nitrat dan fosfat, dan tanah menjadi semakin berkurang kesuburannya karena penggunaan pupuk berlebihan.
· Penggunaan varietas unggul yang monogenik dan seragam secara spesial dan temporal mengurangi keanekaragaman hayati, dan hilangnya berbagai jenis tanaman asli.
· Penggunaan pestisida yang berlebihan akan mengakibatkan resistensi, resurjensi hama, timbulnya hama sekunder, terbunuhnya binatang bukan sasaran dan residu racun pada buah dan sayuran serta lingkungan.
· Selain itu kegiatan pertanian secara intensif juga berperan dalam proses pemanasan bumi atau efek rumah kaca dan penipisan lapisan ozon antara lain melalui emisi gas metan dan N2O akibat penggunaan pupuk buatan ( Kasumbogo Untung, 1994).
Dengan demikian usaha pencapaian sasaran produksi untuk memenuhi permintaan dan target dikhawatirkan akan semakin mengurangi sumber daya alam, mengurangi keaneka ragaman hayati dan meningkatkan pencemaran lingkungan.
Dewasa ini lingkungan yang dikaitkan dengan produk pertanian sedemikian kuatnya diluncurkan terutama di negara-negara maju, sehingga penduduknya menuntut agar produk pertanian bebas dari cemaran bahan kimia, dan mereka mulai lebih suka mengkonsumsi produk yang dihasilkan melalui proses alami yang dikenal dengan pertanian organik (“organic farming”).
Pertanian organik merupakan salah satu alternatif budidaya pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang bebas dari segala bentuk bahan inorganik seperti pupuk buatan, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Pertanian organik memadukan berbagai cara seperti pergiliran tanaman, tumpangsari, penggunaan sisa bahan organik sebagai pupuk, serta pengendalian hama secara terpadu dengan mengoptimalkan cara biologis (Kasumbogo Untung, 1994). Kecenderungan seperti ini membuka suatu peluang baru dalam bisnis di bidang pertanian terutama tanaman hortikultura yang produknya sering dikonsumsi secara langsung atau dalam keadaan segar.
Selain itu ada alasan-alasan yang mendorong berkembangnya teknik bertani yang berwawasan lingkungan yaitu ratifikasi hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang dicantumkan dalam agenda 21, chapter 14, yang meminta agar setiap negara meninjau kembali berbagai kebijaksanaan pembangunan pertanian sayuran atau buah-buahan yang diproduksi secara konvensional. Dewasa ini banyak negara telah memberlakukan persyaratan akan “ecolabelling” atau “green product” terhadap produk pertanian yang akan diimpornya (Kasumbogo Untung, 1994), sehingga hal ini harus mulai direncanakan sejak dari sekarang apabila kita para pelaku hortikultura ingin mengembangkan Hortikultura dalam menghadapi Pasar Bebas pada abad 21 mendatang.
Selanjutnya dikemukakan oleh Kasumbogo Untung (1994), bahwa berbagai bentuk dan konsep pertanian berwawasan lingkungan banyak dihubungkan dengan perkembangan berbagai jenis praktek pertanian yang telah mulai banyak dilakukan pada tingkat petani, antara lain dengan istilah pertanian ekologi, pertanian biologi, ecofarming (Egger dan Martens, 1988), pertanian hemat energi, LISA (Low Input Sustainable Agriculture), serta pertanian alternatif (Vogtmann, 1988; NAS, 1990).
D. PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN HORTIKULTURA
Peran Perguruan Tinggi untuk ikut mensukseskan pengembangan Hortikultura perlu ditingkatkan melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu : Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Dalam pendidikan manusia yang bermutu, untuk memiliki sumber daya manusia yang berwatak membangun, bukan hanya pengetahuan semata yang perlu diajarkan, tetapi juga sikap hidup yang baik. Pendukung pembangunan masa depan dengan makin majunya pengetahuan dan teknologi (industri), namun makin padatnya manusia Indonesia dan makin menciutnya sumber daya alam, menuntut kita makin peduli lingkungan, berarti harus lebih beradab dan santun, serta akrab dengan lingkungan. Bukannya angka produksi semata yang perlu kita raih, namun juga perlu diperhatikan mutu produknya.
Untuk mencapai hal tersebut, masyarakat Hortikultura dituntut untuk peduli pada kehidupan subsisten di berbagai pelosok marginal, namun juga menyiapkan perkembangan ekonomi global yang menuntut sistem produksi hortikultura yang canggih dan efisien untuk meraih devisa yang memiliki daya saing internal maupun internasional. Untuk menjadi hortikulturis modern, pendidikan dasar secara konvensional dalam hal teknik bercocok tanam intensif masih perlu diketahui, tetapi inovasi teknologi (bioteknologi dalam penciptaan varietas, sistem hidroponik maupun organic farming dalam produksi, atmosfir terkendali dalam penanganan segar, cara-cara prosesing canggih) perlu diajarkan (Sri Setyati, 1994).
Melihat tantangan dan peluang di bidang hortikultura yang masih membentang luas, perlulah kiranya dipikirkan mengenai pendidikan bagi para pelaku hortikultura nantinya dengan kurikulum yang diharapkan mampu menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan sumberdaya dan fasilitas yang dimiliki. Dalam hal ini mencakup : level Sarjana S1; Diploma ataupun tingkat SLTA yang saling mendukung untuk mencapai pengembangan hortikultura di Indonesia. Pendidikan hortikultura harusnya disertai dengan mengembangkan inisiatif, serta menanamkan disiplin dan dedikasi yang tinggi.
Sri Setyati (1994) menyatakan bahwa perbaikan pendidikan hortikultura di level S1 diharapkan agar lulusannya menjadi : 1) Pengantar teknologi atau penyuluh hortikultura. 2). Pendidik hortikultura di tingkat Diploma atau SLTA. 3). Asisten Peneliti hortikultura yang tangguh.
Salah satu tujuan pengembangan hortikultura adalah peningkatan pendapatan petani yang dicapai melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Menurut Amrin Kahar (1994) upaya tersebut dapat dicapai antara lain melalui pemanfaatan IPTEK yang mencakup kegiatan :
· Menghasilkan teknologi tepat guna sesuai dengan kebutuhan oleh para peneliti
· Penyampaian teknologi yaitu menyampaikan dan mengembangkan teknologi yang dihasilkan peneliti melalui para penyuluh kepada para pengguna
· Penggunaan teknologi, yaitu penerimaan dan adopsi teknologi oleh para petani.
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam pengembangan hortikultura ialah kualitas sumber daya manusia dari pelaku-pelaku yang berperan dalam pengembangan tersebut, yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikannya. Oleh karena itu salah satu faktor penting dalam upaya pengembangan hortikultura adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Petani sebagai mata rantai akhir dari suatu proses alih teknologi dan sebagai pengguna teknologi tentunya kualitasnya perlu ditingkatkan pula, sehingga mereka dapat responsif terhadap informasi teknologi yang disampaikan. Mengingat keragaman karakteristik budaya, wilayah, sosial ekonomi dan komoditas yang dikembangkan petani, maka pola peningkatan kualitasnya perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut. Pola pendidikan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di tingkat petani adalah dalam bentuk Sekolah Lapang dengan sasaran para kelompok tani. Dengan porsi lapangan lebih besar dari pada teori dan sebagai obyek pembahasan adalah kondisi di wilayah mereka, maka pola ini dinilai sangat efektif dalam penyampaian informasi teknologi kepada petani (Amrin Kahar, 1994).
Puslitbang Hortikultura menekankan kegiatan dari program penelitian hortikultura dewasa ini mencakup beberapa bidang (Adhi Santika , 1994), yaitu :
1. Bidang Penelitian Teknologi Pertanian meliputi :
a) Rekayasa genetik dan perbaikan mutu bebrapa tanaman hortikultura
b) Diversifikasi produk tanaman hortikultura
c) Peningkatan efisiensi produk dan standar mutu
d) Rekayasa, rancang bangun dan pengujian alat dan mesin pertanian termasuk konstruksi rumah kaca (Green House) dan pengendalian suhu, penanganan produk segar dan pengemasan hasil.
2. Bidang Penelitian Sarana dan Prasarana meliputi : Sistem produksi, penyimpanan dan distri- busi benih dan bibit hortikultura.
3. Bidang Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan, meliputi :
a) Pemanfaatan lahan marginal untuk pengembangan hortikultura
b) Penggunaan pestisida secara bijaksana dalam pengendalian hama penyakit tanaman hortikultura.
c) Konservasi, karakteristik, evaluasi dan pemanfaatan plasma nutfah.
4. Bidang Penelitian Sunber Daya Manusia, meliputi : Pengkajian perilaku dan kinerja petani serta pedagang dalam menyelenggarakan usahatani hortikultura.
5. Bidang Penelitian Kebijaksanaan dan Kelembagaan, meliputi :
a) Pengkajian sistem insentif, investasi usahatani hortikultura
b) Pengkajian masalah paten produk penelitian hortikultura
c) Pengkajian pembinaan, pengawasan dan sertifikasi benih dan bibit hortikultura.
Adapun hasil-hasil penelitian dari Perguruan Tinggi yang telah dilaksanakan baik oleh mahasiswa maupun Staf Pengajarnya, dapat diterapkan pada petani hortikultura di daerah sekitarnya sesuai dengan sumberdaya dan fasilitas yang dimiliki daerah tersebut untuk dikembangkan, sehingga nantinya mampu memberdayakan masyarakat tani hortikultura menjadi mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan secara berkelanjutan.
No comments:
Post a Comment